BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke abad akan menjadi peninggalan kebudayaan yang sangat tinggi nilainya. Karena itu karya sastra perlu sekali digali dan dipelajari. Karya sastra memberikan khasanah sejarah ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Hasil penggalian dan mempelajari karya sastra akan memberikan rasa kepuasan rohani dan kecintaan pada kebudayaan sendiri yang selanjutnya akan merupakan alat ampuh untuk membendung arus masuknya pengaruh kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepentingan pembangunan bangunan bangsa Indonesia. Sastra berkembang sejak lama sekali, yaitu sejak masa Jawa kuno. Setiap zaman pasti mempunyai hasil sastra. Diantaranya pada masa Jawa kuno dihasilkan karya sastra Jawa berupa puisi yang disebut kakawin. Kemudian pada zaman pujangga baru puisi yang berkembang identik pada masa Islam berupa suluk yang berisi tentang ajaran tasawuf dan mistik. Sedangkan pada masa kerajaan pajang puisi tersebut berbentuk tembang macapat. Hal ini didukung oleh bukti-bukti sejarah berupa buku-buku peninggalan yang masih ada dalam bentuk tembang. Salah satunya adalah “Serat Wulangreh”. Serat Wulangreh terdiri dari 13 tembang yang tergabung dalam tembang macapat, yaitu; Tembang Dhandanggula, Tembang Kinanthi, Tembang Gambuh, Tembang Pangkur, Tembang Maskumambang, Tembang Megatruh atau disebut juga Tembang Duduk Wuluh, Tembang Durma, Tembang Wirangrong, Tembang Pucung, Tembang Mijil, Tembang Asmarandana, Tembang Sinom, dan Tembang Girisa.
Serat Wulangreh adalah karya dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV Surakarta Hadiningrat, pada tahun 1768-1820 M , di kraton Surakarta. Serat tersebut sudah dialih tuliskan tetapi masih menggunakan bahasa jawa juga disertai pula dengan terjemahan dari masing-masing pada dalam tembang-tembang yang terdapat dalam Serat Wulangreh tersebut.
B. Permasalahan
Setelah kita mengetahui latar belakang masalah, yakni tentang keberadaan karya sastra, khususnya karya sastra Serat Wulangreh, penyusun berusaha untuk mengkajinya dengan menggunakan teori resepsi sastra. Resepsi sastra adalah teori sastra yang megkaji penerimaan atau penyambutan pembaca dalam membaca suatu karya sastra.
C. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karya sastra Serat Wulangreh berserta kajiannya. Penyusun berusaha mengkajinya dengan teori resepsi sastra, yaitu teori yang berkaitan dengan penerimaan atau penyambutan pembaca terhadap suatu karya sastra. Tujuan lainnya supaya masyarakat lebih mengenal dan mau mempelajarinya. Selain itu adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengkajian Puisi Jawa Tradisional semester II tahun akademik 2007/2008.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Serat Wulangreh
Serat Wulangreh disusun menggunakan tembang macapat. Masing-masing tembang macapat mempunyai sifat atau watak sesuai dengan penggunaan dan kepentingannya. Menurut Sardjijo (1991), watak tembang adalah sebagai berikut : tiap nama tembang macapat mempunyai sifat/watak masing-masing. Oleh karena itu pemaparan atau penggambaran sesuatu hal biasanya diselaraskan dengan sifat /watak tembangnya. Sifat tembang macapat itu dapat dikatakan sebagai berikut :
a. Pucung : Berwatak “kendho tanpa greget”, lucu agak menggelikan, sesuka hati. Cocok untuk menggambarkan hal-hal yang kurang bersungguh-sungguh, seenaknya dan cocok untuk memberikan ajaran yang baik “piwulang becik”.
b. Gambuh : “Rumaket, kulina, wanuh wani”. Cocok untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat kekeluargaan (sudah akrab), nasihat kependidikan yang mengandung kesungguhan hati.
c. Pangkur : Bersifat keras, bergairah “sereng, nepsu, nggambarake kekarepan kang ora gampang nglokro”, cocok untuk memberikan nasehat yang keras, cinta berapi-api, cerita hal-hal yang bersifat keras.
d. Durma : Berwatak “galak, jengkel, utawa muring” keras, marah, bergairah. Cocok untuk mengungkapkan kemarahan, cerita perang, perasaan jengkel
e. Maskumambang : “Sedhih, susah, nalangsa, kelara-lara, ngeres-eresi”, sedih, memilukan. Cocok untuk melukiskan perasaan sedih, memilukan hati.
f. Megatruh : Bersifat sedih, prihatin, “Sedhih, susah, ora duwe pangarep-arep” menyesal. Cocok untuk cerita yang mengandung rasa penyesalan, prihatin dan sebagainya
g. Wirangrong : Bersifat berwibawa, sesuai untuk mengungkapkan keadaan yang mengandung keagungan, keindahan alam, pendidikan/pengajaran.
h. Mijil : Berwatak cinta “Wedharing rasa utawa ati”, prihatin. Cocok untuk memberikan pendidikan/pengajaran
i. Kinanthi : Bersifat senang, cinta kasih “Seneng, asih, lan trisna”. Cocok untuk menggambarkan hal-hal yang agak lucu serba sesuka hati.
j. Asmarandana : Berwatak sedih, cinta asmara ”tersna, sengsem, sedhih, prihatin”, cocok untuk penggambaran hal-hal yang mengandung kesedihan cinta asmara.Dhandhanggula : Berwatak luwes, menyenangkan “Luwes, lan ngresepake”. Sesuai untuk mengungkapkan segala hal/keadaan.
k. Sinom : Bersifat lincah, “Grapyak, semanak, nanging sok-sok wekasane dadi sereng marga ora keturutan karepe”. Cocok untuk melukiskan suasana kelincahan, berpidato, nasihat dan sebagainya.
l. Girisa : Berwatak gagah, berwibawa, wanti-wanti, sesuai untuk cerita yang mengandung pendidikan /pengajaran dan nasihat.
- DHANDANGGULA
Tembang Dhandanggula dalam Serat WulangReh terdiri dari 8 pada, intik dari tembang tersebut yaitu “nasihat tentang mencari guru kebatinan”.
Rangkuman : Nasihat tentang mencari guru kebatinan
a. Urusan nasihat-nasihat untuk kebatinan, yaitu janganlah lancang meniru pujangga, sebab sebenarnya masih sangat dangkal pengetahuannya, tetapi selalu ingin disanjung, meskipun sebenarnya banyak orang yang tersenyum sinis.
v memaksakan diri menekuni kitab yang isinya muluk-muluk sebaliknya, nasihat-nasihat yang menjurus kepada penerangan batin, yang sudah lama beredar di kalangan masyarakat, dipelajari dengan tekun dan seksama.
b. Isyarat-isyarat dalam kehidupan ini, apabila tak diketahui, sungguh akan menjadikan kebingungan, serta menimbulkan keadaan hidup yang timpang. Oleh karena itu, berusahalah mencari inti dari pada rasa tersebut, agar kehidupanmu bisa sempurna.
c. Karena tafsirannya tidak boleh hanya kira-kira yang akhirnya tak bisa menemukan maknanya, serta apabila keterlanjuran, bisa menyesatkan. Apabila yang menginginkan pengertian yang sempurna, sebaiknya pergi berguru.
d. Tetapi apabila mencari seorang guru, pilihlah manusia yang pantas, yang baik martabatnya, tahu dan taat kepada hukum (undang-undang), tekun beribadah, serta takut kepada Allah dan taat kepada segala perintahnya.
e. Pertimbangkanlah masak-masak masalah empat perkara, dalil, hadist, ijmak, serta qias, apakah semua itu sudah benar satu sama lainnya.
f. Jangan hanya mengutamakan sholat dan sembahyang, tetapi meninggalkan persyaratan agama yang lain. Masalah batal dan haram tidak diindahkan, serta merusak aturan-aturan yang berlaku.
g. Pekerjaan yang bersifat menolong, kadang dianggap salah. Tetapi semua itu adalah kesenangan pribadi sendiri-sendiri, sehingga tidak boleh disamakan dengan kehendak orang lain karena sudah menjadi kodrat masing-masing.
h. Yang umum terjadi dijaman sekarang, seorang guru yang salah, akan mendapatkan kekecewaan. Sebab yang berlaku di jaman kuna dahulu, sebenarnya muridlah yang mengembara mencari seorang guru. Tetapi di jaman sekarang tidaklah demikian, justru si gurulah yang berkeliling mencari murid, untuk dijadikan anak buahnya.
- KINANTHI
Terdiri dari 16 pada, berisi tentang “laku demi kebaikan amal”. Disini dijelaskan bahwa, kita harus rajin mempelajari dan melatih batin agar bisa pandai mengerti isyarat dengan cara mengurangi makan dan minum (berpuasa), bersifat wajar, jangan berkumpul dengan orang-orang berperilaku buruk karena ditakutkan watak buruknya akan menular. Tetapi walaupun wujudnya sangat buruk namun wataknya baik maka orang yang demikian itu pantas diakrabi. Supaya bisa mendapat tambahan pengetahuan darinya. Kita sebagai anak muda hendaknya takut dan hormat kepada orang tua secara lahir dan batin. Menuruti semua nasehatnya, serta jangan menolak nasihat-nasihat yang baik. Inti dari tembang ini adalah pesan untuk berlaku baik. Dimana kita sebagai manusia yang diberi akal harus bisa menempatkan diri dalam pergaulan masyarakat, harus bisa memilih apa yang dipilih dan memilah apa yang tidak dipilih, waspada terhadap orang yang baik sekalipun karena bisa saja ada maksud terselubung di balik kebaikannya serta mau membuka diri dengan mendengarkan cerita-cerita dan nasihat dari orang lain.
- PANGKUR
Terdiri dari 17 pada, petuah tentang baik buruk tingkah laku itu telah nampak dalam gerak-geriknya.
Yang diwujudkan dalam tembang pangkur adalah kewajiban yang harus dijalankan manusia yaitu mengetahui perbuatan baik atau buruk dan mentaati aturan-aturan yang ada dalam masyarakat, berlaku sopan dan perhitungan (bisa mengira-ngira) setiap tingkah lakunya baik duduk, bangun, pergi, berbicara ataupun tidur. Dalam gatra ke-4 ditekankan bahwa apabila ada orang yang tidak memakai kira-kira dalam perbuatannya, kasar, suka sekehendak sendiri, tidaklah pantas berkumpul dengan orang yang banyak karena pada akhirnya akan membuat celaka.
Sehubungan dengan sopan santun dan budi pekerti, tindak-tanduk seseorang dapat dilihat dari pembicaraan dan sikapnya. Maka jika kita tidak bisa berbicara baik maka akan lebih baik jika kita diam. Jangan bisanya cuma membeberkan kejelekan orang lain kemana-mana, kebaikannya disembunyikan dan kebaikan sendiri ditonjolkan, orang yang seperti itu adalah orang yang picik, dan serakah, tak pernah mempunyai kepuasaan dalam hatinya. Jangan pernah memiliki watak yang : 1) licin, 2) lemer, 3) genjah, 4) angrong prasanakan (merongrong persaudaraan), 5) nyumur gumuling= ibarat sumur yang digulingkan dan 6) ambuntut arit : ibarat berekor sabit.
Karena kesemuanya itu menunjukkan perwatakan yang tak bisa membawa seseorang kepada keselamatan. Yang dinamakan licin adalah orang yang tidak punya pendirian yang tetap, sehingga sukar sekali diikuti maksudnya, dan tidak bisa dipegang pembicaraanya. Sedangkan yang dikatakan lemeran adalah orang yang wataknya seperti pelacur, genjah adalah orang yang senang berganti-ganti pekerjaan tetapi semuanya tak ada yang selesai, angrong prasanak (merongrong persaudaraan) ialah orang yang sedang memperkosa istri dan saudaranya atau pembantunya sendiri serta sahabat dan teman-teman sendiri, memperkosa disini berarti memperkosa hak. Nyumur gumuling ialah orang yang sembrono, tidak bisa menyimpan rahasia, setiap ada keramaian akan selalu membeberkan semua rahasia yang diketahuinya dan pastinya segala yang diucapkannya hanya untuk mencari keuntungan dirinya sendiri.
- MASKUMAMBANG
Terdiri dari 34 pada, berisi nasehat sesembahan yang harus disembah. Dalam tembang maskumambang tersebut disebutkan bahwa sesembahan yang wajib disembah itu adalah :
1. Orang tua, ayah dan ibu harus disembah (dimuliakan), karena mereka menjadi perantara bagi keberadaan kita dimuka bumi. Bahwasannya di dalam hidup ini kita bisa pandai itu karena kodrat Tuhan YME.
2. Mertua, karena telah memberikan nikmat yang sejati karena menghasilkan keturunan juga karena mertua adalah orang tua kita dari istri/suami.
3. Saudara tua, karena sebagai ganti dari orang tua, apabila mereka telah tiada.
4. Guru, karena beliau yang memberi petunjuk-petunjuk tentang jalan kehidupan sampai akhir hayat, penerang kegelapan serta menunjukkan jalan menuju kemuliaan.
5. Raja, karena bisa merencanakan mati dan hidup seseorang, serta yang memberikan penghidupan berupa sandang dan pangan. Kata “raja” di sini bisa diartikan yang berkuasa, atau pada saat ini (sekarang) pemerintah.
- GAMBUH
Terdiri dari 15 pada, berisi tentang “Larangan Melakukan Kejahatan.”
Banyak orang yang tingkah lakunya salah dikarenakan kurangnya nasehat kepadanya. Nasehat bisa datang dari siapa saja termasuk orang yang kita anggap paling hina sekalipun. Kalau itu tentang hal yang baik mengapa tidak. Kita harus berlapang dada ikhlas menerima, daripada orang yang kelihatannya baik tetapi dalam nasehatnya ada maksud terselubung. Tinggalkanlah nasehat buruk dan jangan bertingkah laku “adigang” wataknya seperti kijang, larinya cepat (dari tanggung jawab), adigung, wataknya seperti gajah tinggi besar dan suka gegabah hanya mengandalkan kekuasannya (kemampuannya). Sedangkan adiguna wataknya seperti ular yang diandalkan adalah bisanya yang ampuh, apabila menggigit sangat mematikan.
Janganlah menyombongkan diri demikian itu watak gajah. Pada akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya sendiri. Jangan mengandalkan kekuasaan yang dimiliki, yaitu memamerkan keberaniannya. Siapa saja ditantang dan meremehkan orang lain, padahal sebenarnya tidak berani sehingga menjadi tertawaan orang banyak. Jangan suka disanjung dna dipuji oleh orang lain karena akan membuat lupa diri, dengan mendapat sanjungan, hati akan bebrunga-berbunga, membengkak ibarat bisul yang akan pecah.
- MEGATRUH
Biasa juga disebut dengan “Tembang Duduk Wuluh” terdiri dari 18 pada, berisi nasehat perihal mengabdi kepada raja. Mengabdi kepada raja itu berats ekali, harus ikhlas, taat dan setia serta melaksanakan segala perintahnya. Sebab raja itu ibarat wakil Tuhan, menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum dan adil. Jangan dulu memutuskan untuk mengabdi apabila belum mempunyai modal seperti disebutkan di atas.
- DURMA
Terdiri dari 12 pada, berisi tentang “larangan jangan sampai mencela dan membuka aib orang lain” atau “ nasehat tentang hubungan antar manusia”.
Ada tiga hal atau tiga macam larangan, tetapi yang keras dari tiga macam itu diuraikan sebagai berikut:
1. Jangan sekali-kali suka menyanjung, serta janganlah suka mencela sampai keterlaluan. Apabila ada orang yang memuji jangan lekas senang dulu, sebab, apabila tidak terbukti akan menjadikan cacat nama. Kalau bisa, usahakanlah jangan sampai memuji, tetapi jangan pula mencela.
2. Jangan suka menghalangi pekerjaan orang lain, hanya tindakannya sendiri saja yang tidak dihalangi, karena merasa dirinya paling benar. Meskipun benar, tetapi apabila itu dilakukan oleh orang lain pasti dikatakan salah. Sifat itu menandakan orang tersebut mempunyai watak buruk, karena maunya benar sendiri
3. Jangan suka acuh terhadap keadaan di sekitar, apabila ada siapa saja yang khilaf maka harus diingatkan.
- WIRANGRONG
Terdiri dari 28 pada, berisi tentang nasehat “berhati-hati dalam berkata dan memilih kawan”.
Dimana dalam tembang ini dijelaskan tentang larangan-larangan hidup antara lain: masalah mengucapkan kata-kata, larangan melakukan madat, berjudi, mencuri, main perempuan serta mabuk-mabukan.
Di situ juga disebutkan masalah pantangan untuk membuka rahasia di depan wanita, karena kebanyakan wanita tidak kuat menyimpan rahasia, sehingga kadang-kadang bisa menjadi sumber kehebohan.
- PUCUNG
Terdiri dari 23 pada, berisi tentang “peringatan untuk kelakukan dan rukunnya persaudaraan.
Tembang pucung adalah pengembangan dari tembang Wirangrong. Di sini dijelaskan bahwauntuk membina rukunnya persaudaraan, haruslah menjaga perkataan agar tidak menyinggung apalagi menyakiti perasaan orang lain. Sebab kata-kata yang sudah keluar tidak bisa ditarik kembali. Oleh karena itu harus berhati-hati bila bicara, jangan terlalu sering mengucap sumpah. Karena kalau tidak ditepati maka akan menjadi aib bagi diri sendiri dan orang lain tidak akan percaya padamu lagi sekalipun sumpah yang diucapkan itu benar. Jangan pula sekali-kali mengucapkan kata “tobat’, karena itu akan mencelakakan diri sendiri.
Seperti dalam Tembang Wirangrong, isi dari tembang Pucung selanjutnya yaitu larangan melakukan madat (obat-obatan terlarang), berjudi, mencuri, main perempuan dan mabuk-mabukan. Dan janganlah membuka rahasia di depan wanita, karena kebanyakan wanita tidak kuat menyimpan rahasia, sehingga kadang-kadang bisa menjadi sumber kehebohan. Seperti kita tahu bahwa larangan-larangan tersebut juga ditekankan dalam Al-Qur’an, selain karena memang tidak diperbolehkan oleh Islam sendiri hal tersebut juga hanya akan merugikan si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu kita harus menghindari larangan-larangan itu sebisa mungkin dengan cara mendekat diri kepada Allah dan menghindari lingkungan dan orang-orang yang mendukung kegiatan tersebut.
- MIJIL
Terdiri dari 26 pada, berisi tentang “nasehat baik buruknya orang menerima dan tidak menerima takdir”.
Dijelaskan bahwa, sebaik-baik orang adalah yang menerima takdirnya, jangan sampai tidak menerima takdir hanya karena tidak sesuai dengan keinginanya. Oleh karena itu diperlukan sikap sabar, tenang, baik budi, dan yang tak kalah penting adalah pandai dalam segalanya. Menerima di sini bukan berarti pasrah melainkan harus ada usaha juga untuk merubahnya, sikap menerima yang hanya menerima tanpa melakukan apapun ini adalah buruk. Diibaratkan seperti orang bodoh yang tak pernah mau bertanya. Sikap menerima yang baik adalah seperti orang yang mengabdi kepada raja lama-lama tercapai tujuannya, bisa menjadi mantri, bupati dan sebagainya.
Orang yang tidak menerima takdir namun akhirnya menjadi baik adalah diibaratkan sepeti orang yang mencari ilmu. Dimana orang yang mencari ilmu, mencari dan terus mencari tak mengenal rasa puas dalam dirinya hingga tercapai apa yang menjadi tujuannya. Dan hal itu juga diterapkan dalam hal pekerjaan yang dilakoninya selalu mengandalkan semua yang telah dikuasainya. Dalam melakoni pekerjaan ini terapkanlah sikap sabar supaya selamat. Seklai lagi dalam gatra yang ke-23 ditekankan lagi mengenai hal mencari ilmu karenailmu akan menjadi kekuatan karena orang yang berilmu pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Selain ilmu pengetahuan ilmu sariat juga tak kalah penting karena ilmus ariat merupakan wahana yang tepat, semua ilmu termuat didalamnya.
- ASMARANDANA
Terdiri dari 28 pada, berisi tentang nasehat “Petunjuk Tingkah Para Pegawai Negara”.
Dijelaskan bahwa modal dasar untuk menjadi pegawai selain memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang tersebut, ada lagi yang lebih penting yaitu orang yang beragama dan benar-benar melaksanakan agamanya. Apabila seorang pemimpin/pegawai sudah berpedoman pada agama maka ia akan menjadi pemimpin yang baik. Tunaikanlah rukun Islam, jangan suka mengganggu pembicaraan, sewenang-wenang dan menghina, jangan pula sombong dan merasa dirinya sudah yang paling benar, dengarkanlah nasehat orang lain. Jangan bertindak sok jadi penguasa, gunakanlah cinta dalam memimpin, jangan gegabah dan berlakulah adil. Jangan suka pamrih. Ikhlaskanlah dalam setiap mengambil keputusan maka takan ada yang namanya korupsi. Sesungguhnya kesemuanya itu juga dibahas dalam agama.
- SINOM
Terdiri dari 33 pada, berisi tentang “Contoh-contoh cita-cita”.
Dijelaskan bahwa dalam menuju cita-cita itu tidak mudah. Harus susah dulu baru bisa mencapainya. Dengarkanlah nasehat orang tua juga guru, dan janganlah lupa kepada leluhur, kurangi makan dan tidur (puasa). Rajin-rajinlah, karena orang yang rajin pasti akan berhasil. Sebagai contoh orang yang akhirnya berhasil adalah Ki Ageng Tarub dan Panembahan Senopati. Sabar, itu juga harus dilakukan, memohon kepada Yang Maha Kuasa itu kuncinya selain berusaha, karena Tuhan yang menetukan segalanya.
- GIRISA
Terdiri dari 25 pada, berisi tentang “Peringatan dan doa untuk anak-anak (keturunan)”.
Seperti layaknya nasehat/petuah pasti berisi anjuran untuk berbuat kebaikan. Dalam tembang Girisa ini juga demikian, yaitu berisi nasehat dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV kepada putra-putrinya. Inti dari nasehat beliau adalah: mematuhi nasehat orang tua, menerima takdir, karena kedudukan, rejeki, umur dan jodoh sudah ditentukan oleh Tuhan. Jangan pernah melanggar perintah Tuhan karena bisa celaka di Lokilmahful nanti. Bila akhirnya belum tahu/mengerti, sekiranya tanyalah kepada ahlinya yaitu orang yang tahu tentang isi kitab supaya jadi tahu tentang kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi dan ditinggalkan. Harus sering-sering berkumpul dengan orang soleh (ulama), walaupun tak bisa seperti mereka, setidaknya bisa belajar menuju ke yang lebih baik. Tanyalah yang tidak diketahui, cara bersopan santun, berbicara dan bertingkah laku yang baik.
Kanjeng sinuwun juga menganjurkan supaya putra-putri dan anak cucunya kelak menjadi orang yang pandai dengan cara sering membaca, membaca apa saja, buku-buku lama juga banyak manfaatnya. Misal saja babad, dari babad dapat diketahui perjalanan para pejuang juga para wali yang tangguh dalam perang dan jangan malu bertanya. Dalam tembang ini juga ditegaskan supaya putra-putri beliau jangan sampai meniru beliau karena itu merupakan kerugian menurut sinuwun sendiri.
Pada gatra yang ke-14, beliau memanjatkan do’a dan harapannya supaya keturunanya diberi keselamatan dunia dan akherat, kebahagiaan, panjang umur, banyak anak, banyak rejeki dan selaludi penuhi cinta kasih dan menjadi panutan bagi orang banyak.
B. Resepsi Sastra Serat Wulangreh
Resepsi sastra dapat diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Resepsi yang diterima pembaca berbeda-beda dalam menilai suatu karya sastra. Penyusun memilih menggunakan teori resepsi sastra dalam mengkaji Serat Wulangreh ini salah satu tujuannya supaya masyarakat lebih mengenal dan mau mempelajari karya sastra, khususnya karya sastra jawa klasik Serat Wulangreh.
Adapun dalam menganalisis karya sastra Serat Wulangreh ini dengan menggunakan teori resepsi sastra, yang penyusun membagi kajiannya dalam 2 bagian pengkajian, antara lain sebagai berikut:
1) Wulangreh sebagai karya adiluhung
2) Wulangreh dalam budi pekerti
3) Kesalahan resepsi Serat Wulangreh
Ketiga bagian pengkajian tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
1. Wulangreh Sebagai Karya adiluhung
Bagi masyarakat jawa, sastra klasik merupakan sastra yang tersusun apik dalam bahasa yang indah. Tidak heran jika sasta jawa klasik tidak hanya mengutamakan isi, tapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra yang terlahir melalui pengolahan rasa, dan laku tapa disebut sebagai sastra adiluhung, atau sastra yang mempunyai apresiasi seni tinggi.
Sastra adiluhung ini tidak pernah lupuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolik, dan dikenal sepanjang masa bagi peradaban umat manusia. Seperti Serat Wulangreh ini, sampai sekarang masih tetap dikenal masyarakat luas meskipun zaman sudah modern dimana banyak para generasi muda sebagai penerus kebudayaan bangsa banyak yang enggan untuk mempelajarinya, mereka lebih senang dengan kebudayaan modern yang mreka sebut dengan zaman globalisasi zaman yang serba “gaul” menurut anggapan mereka. Mereka menganggap bahwa karya sastra seperti Serat Wulangreh sebagai ketinggalan zaman, kuno, tidak gaul, dll mereka lebih senang dan bangga apabila menyayikan lagu- lagu modern seperti lagu-lagu Peterpen, Dewa, Slank, Mulan Jamelaa, juga lagu-lagu lainnya yang menurut anggapan lebih enak dan lebih mudah dinyayikan.
Sebenarnya suatu karya sastra itu tercipta bukan bukan dari ruang hampa, juga bukan produk instan, duplikatif,dll. Penetrasi budaya juga turut membangun karya sastra seperti realitas sosial dipengaruhi oleh sstra tersebut. Serat wulangreh merupakan penetrasi budaya jawa yang diakulturasikan dengan Agama Islam.
Wulangreh termasuk karya adiluhung karena hadir melalui sejarah, ruang, dan waktu. Demikian pula objeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang puangga tidak mengambilnya secara acak. Beliau para pujangga memilih dan menyusun bahan itu dengan berpedoman kepada tujuan dan asas tertentu. Dalam Serat Wulangreh ini misalnya menyerukan umat manusia agar senantiasa waspada, karena sikap waspada akan mencegah tingkah laku dan ucapan-ucapan yang tercela.
Memang tidak dapat disangkal lagi, pembaca atau masyarakat menerima karya sastra yang dengan baik. Terbukti hingga sekarang Serat Wulangreh masih tetap eksis didunia sastra walaupun muncul karya-karya sastra baru.
- Wulangreh Dalam Budi Pekerti
Serat Wulangreh ini berisi mengenai etika yang luhur, yang mampu menghaluskan rohaniah , mempertajam visi, misi, dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya.
Dalam Serat Wulangreh ini tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan rela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadn batin yang terus menerus itu akan mencegah perbuatan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadan dalam batin. Selain kewaspadaan batin itu, juga harus diimbangi dengan menghindari tingkah laku yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung, adiguna.
Ø Adigang adalah mengandalkan kepintaran, seperti seekor rusa yang hanya mengandalkan kecepatan dalam larinnya.
Ø Adigung adalah sombong mengandalkan tubuh besarnya, seperti seekor gajah yang tubuhnya paling besar dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya.
Ø Adiguna adalah sombong mengandalkan kekuatan jasmani dan rohaninya untuk mengalahkan orang lain, seperti ular yang mengandalkan bisanya.
Sebaiknya manusia itu harus senantiasa memelihara watak “Reh”, brsabar hati dan “Ririh”, tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri swend
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Serat Wulangreh yang dibuat oleh kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV ini intinya adalah berisi pesan dan nasehat-nasehat untuk kita semua para pembaca yang sifatnya menasehati, menggugah dan mengingatkan kita tentang hubungannya hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (hubungannya dengan raja) dan dengan junjungan manusia yang haqiqi yaitu Tuhan. Semuanya diulas menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang.
B. SARAN
Serat Wulangreh sejatinya berisi nasehat yangdiharapkan dapat menjadi panutan bagi pembaca. Akan tetapi karena serat Wulangreh ini masih berbentuk tembang dan masih menggunakan bahasa Jawa membuat para pembaca mengalami kesulitan dalam mencerna isi atau maksud yang diharapkan oleh pengarang buku itu sendiri. Walaupun dalam sebuah buku yang saya baca ada yang mengulas dan menerjemahkan isi seratWulangreh, namun masih terdapat banyak kata-kata yang belum diterjemahkan, sehingga untuk orang awam seperti saya ini jujur saja masih mengalami kesulitan, kadang saya hanya dapat menebak-nebak apa arti dari kata – kata yang tidak diterjemahkan tersebut. Saya berkata ini bukan berarti saya menganggap buku tersebut tidak ada faedahnya, malah buku tersebut sangat membantu saya dalam menyelesaikan analisis serat wulangreh ini.
Saya yang sifatnya hanya sebagai pembaca ingin mengungkapkan harapan saya smeoga yang akan datang akan ada dan banyak para ahli bahasa terutama bahasa Jawa yang mau menyumbangkan sedikit keahliannya untuk menerjemahkan karya-larya Jawa secara gamblang bukan hanya serat Wulangreh saja tetapi juga karya-karya yang lain.
Terakhir saya ingin meminta maaf apabila dalam menganalisis Serat Wulangreh ini masih jauh dari sempurna dan masih serba kekurangan. Banyak kata-kata dan kalimat yang saya jabarkan mungkin kurang atau bahkan tidak tepat. Itu semua karena keterbatasan saya, karena saya bukan ahli sastra.